filsafat pendidikan agama islam
dan implementasinya terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan Agama Islam
A. Dasar Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran islam, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadits.[1] Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim mengembangkannya dan mengklasifikasikannya kedalam dua bagian yaitu: Aqidah untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan dan Syari’ah untuk ajaran yang berkaitan dengan amal perbuatan.[2]
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist. Firman Allah :
Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura: 52)[3]
Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”[4]
Di samping Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber atau dasar pendidikan Islam, masih terdapat beberapa sumber atau dasar pendidikan Islam, yaitu berupa Ijtihad, Ijma’, Qiyas dan sebagainya.[5]
B. Pengertian dan Hakikat Filsafat Pendidikan Agama Islam
Sekumpulan masyarakat tentunya menginginkan agar setiap warganya merupakan insan-insan yang baik, sesuai dengan cita-cita dan nilai sosial masyarakat tersebut. Pandangan tentang manusia yang dicita-citakan itu tergambar dari falsafah pendidikan yang mendasari sistem pendidikan masyarakat tersebut.[6] Disamping itu, suatu falsafah pendidikan juga merupakan semacam guiding principles bagi setiap orang, dalam hal ini memberikan petunjuk dalam prosesoperasional untuk mencapai cita-cita tersebut.[7]
Adapun pengertian filsafat secara harfiah berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophia yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[8]
Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[9]
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata philein yang berarti cinta dan sophos yang berarti hikmat. Orang Arab memindahkan kata philosophia ke dalam bahasa merek dengan menyesuaikannya dengan tabi’at susunan kata-kata Arab yaitu Falsafa.[10]
Yahya Qohar ( 1983 ) menyatakan, “ Filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan. Sedangkan Al-Najihi (1967) menyatakan bahwa, “ Filsafat pendidikan, yaitu aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan falsafah itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.” Karena itu ia menyebut filosof pendidikan sebagai seseorang yang menggunakan gaya falsafah dalam bidang pendidikan. Walaupun pendapat – pendapat tersebut di atas memiliki gaya bahasa yang berbeda, tapi saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya dan berada dalam satu pengertian yang sama, yaitu bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan sistem berfikir filsafati yang diaplikasikan dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan.[11]
Hakikat pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli dapat ditilik dari ketiga persoalan yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pertanyaan-pertanyaan Ontologis seperti: Apa saja potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia ? Dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat istilah fitrah, samakah potensi dengan fitrah tersebut ? Apakah potensi dan atau fitrah itu merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ? dan lain-lain. Adapun pertanyaan-pertanyaan epistemologis menyangkut hal-hal berikut: Untuk mengembangkan potensi dan atau fitrah serta mewariskan budaya dan interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi pendidikan Islam yang perlu dididikkan ? Dengan apa pendidikan Islam (metode) itu dijalankan ? Siapa yang berhak mendidik dan dididik dalam pendidikan islam ? Apakah semua manusia dapat memperoleh Pendidikan Islam ataukah hanya manusia Muslim saja ? dan lain-lain. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan aksiologis bermuara pada masalah: Untuk apa potensi dan atau fitrah manusia itu dikembangkan dalam pendidikan islam ? Untuk apa pula budaya itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan Islam ? Diarahkan kemana pengembangan potensi dan atau fitrah manusia serta pewarisan budaya tersebut ? dan lain-lain.[12]
Pemahaman tersebut di atas diperkuat oleh pendapat-pendapat para ahli filsafat pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Barnadib (1987) misalnya, menyatakan bahwa: “Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Karena bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan.”[13]
Jika dikaitkan dengan pengertian-pengertian pendidikan Islam sebagaimana uraian terdahulu, maka filsafat pendidikan Islam dapat berarti : (1) filsafat pendidikan menurut Islam atau filsafat pendidikan yang Islami, yakni filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran dan nilai – nilai Islam, atau yang difahami dan dikembangkan dari ajaran dan nila-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, (2) filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, dan (3) filsafat pendidikan dalam Islam, atau proses aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah pendidikan Islam.
Dengan demikian, apa yang membedakan antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan lainnya lebih terletak pada pangkal tolaknya. Filsafat pendidikan Islam bertolak dari ajaran dan nilai-nilai Islam, atau menurut Ma’arif (1991) berangkat diri cita-cita Al Qur’an serta perlunya kegiatan pendidikan di bumi yang berorientasi ke langit (orientasi transendental). Tafsir (1995) juga menyimpulkan bahwa filsafat yang tepat digunakan sebagai landasan dalam pengembangan ilmu pendidikan islam ialah: (1) filsafat yang mampu mengakomodir pendapat bahwa sumber pengetahuan adalah Allah, dan teori-teori ilmu pendidikan tidak boleh bertentangan dengan wahyu dan (2) filsafat yang mampu mengintegrasikan pengetahuan ( termasuk ilmu ) dengan wahyu.[14]
C. Urgensi Filsafat Pendidikan Islam
Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan islam pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimlikasi pada kekaburan dan ketidak jelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Abdurahman (1995) misalnya, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan islam selama ini berjalan melalui cara didaktis metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat pendidikan model barat, sehingga lebih menekankan pada “transmisi pengetahuan agama”. Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.[15]
Ma’arif (1993) setelah menyajikan dialog antara iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama tampak pada adanya bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki posisi fardhu ‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardhu kifayah yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakkan. Disamping itu, kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorientasi ke langit, tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilinya. Karena itu, penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.[16]
Buchori (1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jati diri, yang antara lain disebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan-persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian pula riset-riset didalamnya.
Berbagai keprihatinan para pakar tersebut merupakan indikasi mengenai pentingnya konstruksi filsafat pendidikan Islam, karena bagaimanapun filsafat bukanlah penyelidikan yang terpisah dan eksklusif, tetapi justru merupakan bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan.[17]
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah pendidikan. Sebagai persoalan hidup, maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem pemikiran filsafat tersebut diatas, yang menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika karena problema yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada dalam lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan filsafat dan pendidikan adalah sangat erat.
Dengan demikian, berfilsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka dalam lapangan metafisika misalnya, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan ?. dalam lapangan epistemologi, antara lain diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum. Dalam lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan pendidikan, karena dunia nilai ( etika dan estetika ) juga menjadi dasar pendidikan yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan. Dan dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berfikir yang benar dan falid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.[18]
Karena itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan keharusan, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan pokok dan mendasar yang dihadapi oleh pendidikan. Sebagai implikasinya, diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan terjadi: (1) pendidikan akan terapung-apung ( tanpa tujuan ); (2) tujuan pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan dan tidak menunjang kesetiaan; (3) ukuran-ukuran dasar pendidikan menjadi sangat longgar; (4) ketidakmenentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat; (5) sekolah-sekolah akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak mampu memupuk apresiasi terhadap otoritas dan kontrol; dan (6) sekolah akan menjadi sangat sekuler dan mengabaikan agama.[19]
Ibarat sebuah bangunan rumah, maka filsafat pendidikan Islam itu mencakup berbagai dimensi, yaitu: pertama, dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat dan tidaknya suatu pondasi bbangunan. Kedua, dimensi pondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasardan asas berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam system ( komponen-komponen pokok aktivitas ) pendidikan Islam. Ketiga, adalah dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan system pendidikan Islam.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, 2008, Ensiklopedia Imam Syafi’i, Hikmah, Jakarta
Al Qur’an terjemah : Al Hikmah (Bandung : Diponegoro, 2010)
http://kiflipaputungan.wordpress.com/2010/04/28/dasar-dan-tujuan-pendidikan-islam/
M.Quraisy Syihab, 2007, Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan Pustaka, Bandung
Moch Eksan, 2000, Kiai Kelana : Biografi Kiai Muchith Muzadi, LKiS, Yogyakarta
Muhaimin, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Rajawali Pers, Malang
Oemar Hamalik, 2009, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Remaja Rosdakarya, Bandung
Zuhairini, 1995, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
[2].M.Quraisy Syihab,Membumikan Al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung : Mizan Pustaka,2007), hlm.184
[4] al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90
[5].DR. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi,Ensiklopedia Imam Syafi’i(Jakarta : Hikmah,2008), hlm.342
[8].M.Ihsan Dacholfany, Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam,di akses pada tanggal 7 Oktober 2011 di alamat: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/05/25/filsafat-pendidikan-islam/
[9].M.Ihsan Dacholfany, Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam,di akses pada tanggal 7 Oktober 2011 di alamat: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/05/25/filsafat-pendidikan-islam/
[10]. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara.1995), hlm. 3
[11]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.68-69
[12]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.67-68
[13]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.67-68
[14]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.71
[15]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.75-76
[16]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.75-76
[17]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm. 76
[18]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.77
[19]. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.78
[20] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ,(Malang : Rajawali Pers .2005), hlm.78